RITUAL KEKUASAAN ZAMAN RAJA-RAJA

"Situs-situs purbakala yang ditemuka di Asia Tenggara, Cina, di sepanjang Sungai Hindus atau di Jepang sudah mengisyaratkan, setiap epos kekuasaan selalu dibayangi distorsi politik dan dicekam hantu kudeta".

MESKI SESUNGGUHNYA, kekuasaan seorang raja adalah absolut dan merupakan simbolisasi external forces dari khayangan, namun dalam kenyataanya proses penegakan simbolisasi itu selalu ruwet dan kacau.

Phu Yi kaisar Cina terakhir adalah contoh paling ironis. Sebagai kaisar transisi, ia harus mengalami peralihan kekuasaan dari seorang raja sebagai bentuk legitimiasi ritual supranatural perimitif ke bentuk republik, yang menetepakan hukum dan rasionalisasi politik sebagai pribadi yang paling berkuasa.

Sebelum Phu Yi jatuh, jepang juga sempat meluluh-lantahkan negeri kungfu itu. Sampai Pada akhirnya, wilayah Phu Yi semakin menciut. Hanya sebatas tembok istana yang ditinggalinya. Sekarang istana itu disebut kota terlarang atau forbidden city. Dan dijadikan asset pariwisata Cina.

Posisi kaisar di negeri tanpa tapal batas itu, adalah pemegang mandat resmi dari khayangan. Demikian pula yang terjadi di Jepang hingga hari ini. Kaisar Akhihito tetap dipertahankan oleh parlemen, karena dianggap penjelmaan Dewa Matahari yang melindungi Jepang. Sebentuk sosok yang paling dihormati dalam ritual Shinto, agamanya orang Jepang.

PAMFLET POLITIK
Distorsi politik dan ancaman hantu kudeta, tidak hanya terjadi di Cina. Tapi juga terjadi di wilayah kerajaan lain seperti Jawa. Persoalan seperti itu, sepertinya sudah menjadi kebiasaan turun temurun. Seperti di Kerajaan Mataram, misalnya. Sekarang disebut Yogyakarta dan Surakarta (Sala). Setiap kali tampil raja baru, selalu harus di iringi penyebarluasan panflet politik yang menghardik dan mengancam. "Heh ! Ini rajamu yang baru !. Siapa saja yang tidak setuju pengangkatan raja baru ini, maka akan berhadap-hadapan langsung dengan raja dan para hulubalangnya", begitulah bunyi pamfletnya. Yang asli ditulis dalam Bahasa Jawa.

Arogansi raja tercermin dari isi pamflet. Segenap serdadunya, juga siap sedia mengamankan keputusan akbar itu. Seolah ada isyarat tentang kepanikan, jika sewaktu-waktu muncul gerakan revolusi dari seluruh rakyat.

Sebetulnya, jauh hari sebelumnya, kekuasaan seorang raja sudah dibuatkan sedemikian banyak simbol ritual. Untuk memantapkan posisi raja sebagai utusan Sang Hyang Jagad Pratingkah. Seluruh rakyat sebetulnya juga sudah memahami soal itu. Masalahnya, sebelum raja baru terpilih, selalu ada ancaman intrik politik dan kudeta. Baik dari saudara kandung raja atau saudara tiri, kerabat bahkan para kroninya. Maka perlu disebarluaskan pamflet arogan semacam itu, ketika sudah jumeneng jadi raja. 

Sejak sekitar 100 tahun lalu, pamflet itu sudah tidak digunakan lagi di Kraton Yogyakarta. Bahkan pada saat jumenengan dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X, pamflet itu menjelma jadi siaran televisi regional, nasional maupun internasional via NHK Jepang.

SON OF HEAVEN
Meski pamflet politik semacam itu, sekarang sudah tidak lagi digunakan, namun ritual kekuasaan yang dicoba wariskan turun-temurun, ternyata masih ada yang melestarikan. Tentu dalam bentuk pengejawntahan yang berbeda. Karena sekarang berbagai macam jenis kerajaan dari kecil sampai besar itu, sudah melebur jadi negara republik atau federasi. Dipimpin oleh seorang presiden atau perdana menteri, yang jelas-jelas bukan son of heaven, pemegang mandat dari khayangan.

Fenomena ini pernah terjadi di India zaman Indira Gandhi, yang sebelumnya mewarisi kekuasaan dari Jawaharlal Nehru. Lalu dilanjutkan oleh Rajiv Gandhi, anaknya. Sekarang dipegang orang lain, karena Sonia isteri Rajiv kalah dalam pemilu lalu, gara-gara berbau Italia. Juga pernah terjadi di Haiti, lewat dinasti Duvallier. Dari Papa Doc ke Baby Doc. Mereka adalah pemegang mandat dari rakyat jelata. Sanksinya tidak lagi perang saudara, tapi pengucilan politik dan pencopotan jabatan presiden.

PROYEKSI MAHA KUASA
Sebiah kerajaan memang harus diwariskan turun-temurun, baik secara vertikal maupun horizontal. Dalam arti anak lelaki raja secara otomatis langsung memegang tampuk kekuasaan, tanpa harus melalui Sidang Umum. Jika tidak ada calon, maka diambil dari keturunan kanan-kirinya. Bisa anak selir - isteri diluar permaisuri, atau adik laki-laki raja sebelumnya. Komunitas ini harus dilestarikan, jangan sampai ada orang diluar garis daerah keturunan raja, menyusup menjadi raja. Seperti Ken Arok yang mengudeta Tunggul Ametung Raja Singosari - sekarang Malang Jatim, lalu memperisteri Ken Dedes.

Filosofi seorang raja, sesungguhnya sudah diurai dalam Serat Centhini, yang menegaskan bahwa raja adalah ki dhalang sejati jatining ratu, sang ratu ganthyanin nabi, nabi gantyaning Hyang Agung kang kadular. Artinya, raja adalah dalang sejati, wakil nabi. Nabi wakilnya Tuhan. Jadi nabi dan raja ibarat Tuhan yang kelihatan. Karena itu, secara otomatis raja juga merupakan supremasi hukum yang paling tinggi. Pendekatannya adalah pendekatan kekuasaan.

Filosofi di atas, sesungguhnya sebuah cerminan bagaimana seorang pemimpin harus bersikap. Bukan cuma sebutan dalang sejati saja yang harus dibangga-banggakan atau digunakan untuk memuji diri sendiri. Tapi hakikat penguasa harus setara nabi itulah yang harus dikedepankan. Karena penguasa sejati adlah warananing gusti atau proyeksi dari Yang Maha Kuasa.