"kekeramatan sebuah benda hampir mirip dengan kekeramatan sebentuk roh. Keduanya diperlakukan sangat hati-hati".
BERBAGAI pantangan dan peraturan diberlakukan agar benda atau roh yang mengendap senantiasa tetap keramat. Aneka ragam bentuk prosesi ritual kembang-menyan juga selalu dilakukan pada hari-hari tertentu. Seperti pada malam 1 Suro atau Tahun Baru Jawa.
Benda-benda tosan aji seperti keris, tombak, batu akik dan jimat dimandikan dengan air bunga rupa-rupa warna, air kelapa hijau mudah, lalu diberi minyak tertentu dan dikalungi untaian ronce Melati. Hari-hari selanjutnya cukup diminyaki dan diberi sesaji, istilah di Bali di-banten-i. Hari pelaksanaannya bisa dipilih malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon.
Di benua Afrika, benda keramat semacam di atas disebut fetisy. Mereka meyakini, setiap benda memiliki aura kesaktian dan bakal mempengaruhi kondisi kejiwaan dan kebatinan pemiliknya. Mempengaruhi secara mental spiritual maupun secara badaniah. Benda atau jimat itu adalah kumpulan fetisy-fetisy.
Fetisy dapat diterjemahkan sebagai suatu bentuk kekuatan yang luar biasa. Kekuatan ini tidak cuma berasal dari benda atau roh yang singgah, tapi juga bisa dari seseorang yang sakti dan memiliki fetisy. Benda semacam itu di Prancis disebut relik (relique). Disini disebut jimat dan dijadikan komoditas perdagangan, Diiklankan dengan berbagai janji-janji. Padahal, jual beli jimat jelas-jelas melanggar pasal hukum pidana.
Meski berbeda dengan animisme atau kepercayaan terhadap roh-roh, dinamisme juga berkembang pesat di-Indonesia. Budaya ini masih mengakar, terutama di Ponorogo Jawa Timur, yang dikenal sebagai gudang warok. Seorang warok Ponorogo wajib memiliki jimat kolor, jimat berupa sabuk yang diikatkan di tubuh atau terkadang disampirkan di pundak. Jimat juga dikenal di wilayah Pelabuhan Ratu, Sukabumi Jawa Barat. Di kalangan suku Kubu di Jambi atau Sakai di Riau Sumatera, Asmat Irian Jaya juga Dayak Kalimantan.
MERAH DELIMA
Seluk beluk jimat, paling memikat jika diperbincangkan. Apalagi untuk diperjual-belikan. Contohnya jimat Merah Delima, yang konon berupa batu. Karena sampai hari ini masih dibungkus misteri, maka orang-orang masih membicarakan dengan penuh keasyikan. Tentu saja dibumbui takhayul dan diselipi cerita mistis. Lama kelamaan, memancing orang untuk memburunya. Obrolan santai itu berubah jadi isu. Orang pun jadi tergopoh-gopoh ingin membuktikan kebenarannya.
Gara-gara isu Batu Merah Delima itu, beberapa tahun silam ada orang yang mengaku utusan Sultan Bolkiah dari Brunei Darussalam datang ke Indonesia. Ia ikut-ikutan berburu, menelusuri pelosok desa di Jawa, juga Sumatera. Konon batu satu ini adalah supremasi tertinggi dari seluruh jimat yang ada. Pemiliknya akan mendapat kemuliaan dalam arti luas. Karena sesungguhnya cuma isu, tentu saja utusan Bolkiah itu pulang dengan tangan hampa. Merah Delima tidak pernah ada. Hanya mitos semata, tidak pernah ada yang melihatnya.
WAHYU MERAH DELIMA
Kalaupun ada, Merah Delima wujudnya adalah sinar kemerah-merahan, campuran jingga dan soga. yang perpusing di udara ketika seseorang mendapat wisuda gaib dari alam gaib. Sinar itu disebut wahyu. Jadi, wujudnya sinar bukan batu akik. Sinar itu masuk ke dahi seseorang yang kejatuhan wakyu atau kewahyon lalu bersemayam di tubuhnya sampai akhir hayat. Wahyu ini tidak dapat diwariskan, ia akan kembali lagi ke alam gaib jika orangnya sudah meninggal. Bertahta dalam keabadian, sampai suatu ketika, ada orang yang dipilihnya untuk mendapatkan wahyu tersebut dan menjalankan misi tertentu demi lestarinya kehidupan manusia di dunia.
Sesungguhnya, warna wahyu tidak hanya kemerah-merahan, tetapi bisa juga kebiruan, kekuningan atau putih keperakan. Tergantung jenis wahyunya. Sinar wahyu kemerahan, merupakan lambang pemenuhan gaib oleh batin jaya kawijayan, ilmu terlengkap untuk mencapai kemuliaan hidup di dunia dan akhirat. Selain berupa sinar, wahyu juga bisa berbentuk suara. Di Jawa disebut wisik Di Bali pawisik. Ia tidak lahir lewat halusinasi, tapi muncul sendiri di puncak semedi.
Merah Delima dalam bentuk batu mulia memang ada. Dijual bebas di toko-toko perhiasan. Menempati peringkat nomor wahid dibanding Saphire, Ruby, Pirus atau Opal. Baik dalam soal harga maupun kualitasnya. Meski dijual dengan harga selangit, batu ini tidak mengandung kekeramatan. "Namanya juga, perhiasan.....".
MAGIS MERAH
Mitos Merah Delima memang masih beredar luas. Isu yang dimulai dari mulut ke mulut lalu menjelma jadi legenda itu, bahkan sampai diadopsi jadi lakon kethoprak, seni teater tradisional Jawa. Mengisahkan seekor Naga membelit sebuah gunung berapi. Menjelang belitannya sempurna, tiba-tiba lidahnya dipotong seorang ksatria. Terlempar tiga butir batu mulia dari pangkal lidahnya. Ketiga batu itu, berterbangan ke berbagai penjuru dan tidak pernah dapat ditemukan sampai hari ini. Batu itu, dijuluki Merah Delima.
Kisah kethoprak ini juga sering dijadikan bahan acuan para pemburu harta karun. Mereka masih berusaha menemukan batu itu, sampai melibatkan paranormal segala. Mereka masih meyakini, Merah Delima adalah batu keramat. Disamping juga merasa bimbang, karena Merah Delima tidak pernah jelas perwujudannya. Hanya dongeng, dengan bumbu-bumbu cerita yang semakin hari semakin menjadi-jadi.
Warna Merah, memang warna yang dianggap memiliki magis. Hampir di setiap komunitas spritual, selalu melibatkan unsur warna merah. Termasuk di Cina, yang setiap kali melakukan upacara kebahagiaan, warna merah tidak pernah dilupakan. Dari dekorasi sampai kartu undangan semuanya berwarna merah. Bahkan warna merah, dijadikan warna dasar bendera resmi negeri tanpa tapal batas itu.
Di dunia kesehatan Barat, merah juga diyakini mengandung aura terapi untuk penderita insomnia, gangguan peredaran darah dan gangguan jiwa. Untuk gangguan jiwa akut, disamping merah juga dipakai warna ungu. Kalau anda sempat beranjangsana ke Rumah Sakit Jiwa setempat, Anda akan menyaksikan pasien kalap bakal diberi jaket seperti yang dipakai pesulap sohor David Copperfield, lalu dimasukkan ke ruang tertutup berdinding warna ungu. Pasien itu akan mengalami ketenangan jiwa secara bertahap.
MISTERI PURBA
Misteri soal warna memang masih misteri purba. Di Indonesia, sisa-sisanya masih bisa kita temui dalam kekayaan budaya suku Asmat di Irian Jaya. Mereka pemuja warna merah. Lembar uang seratus rupiah dianggap lebih bernilai dibanding lembar uang sepuluh ribu rupiah, misalnya. Karena uang seratus ribu rupiah mengandung unsur merah. Kumpulan jimat mereka juga dibalut kain merah atau dicat menggunakan warna merah.
Suku Asmat sampai hari ini dianggap primitif, meski mereka sesungguhnya sudah sejak lama mengenal cara berpakaian dan perdagangan jual-beli, tidak perdagangan barter lagi. Beberapa orang tertentu malah mengeksploitasi keprimitifan Asmat untuk komoditas perdagangan baru. Asmat dipamerkan, dipertontonkan ke berbagai belahan dunia. Seperti juga suku Indian Apache di Amerika, yang dijadikan komoditas pariwisata. Diagari seperti kamp pengungsi, dipertontonkan dengan mengutip tanda masuk. Namun, harkat dan martabat hidup mereka tidak pernah ditingkatkan.
Keprimitifan dijadikan sarana pemuas rasa ingin tahu orang-orang modern, tentang sejarah manusia di masa lampau. Mereka memandang dengan rasa geli, takjub, riskan atau menganggapnya tontonan belaka. Seperti animasi film kartun di layar televisi kita.
BELAHAN JIWA
Kitab Primbon yang merupakan lambang kebudayaan Jawa di masa lalu dan lahir melalui cara berpikir primitif-tradisional, membedah warna merah dari sudut pasuryan atau ekspresi wajah. Jenis ekspresi ini sama dengan ekspresi orang malu-malu kucing atau sedang merasa bangga tapi tidak ditunjukkan. Primbon menyebutnya pakulitane mbangbang awak. Atau jenis kulit yang kemerahan semu dadu.
Misteri warna memang bisa diurai dari berbagai sudut pandang. Warna merah versi primbon dapat dijadikan indikator jenis sifat tertentu seorang wanita. Dari daya seksualnya sapai peruntungannya. Analisis watak dilihat dari jenis kulit memang lebih difokuskan kepada wanita, maka dari itu disebut katuranggan wanita. Alasannya tidak diketahui secara pasti, yang jelas tidak ada kaitannya dengan diskriminasi soal gender.
Filosofi wanita yang berkembang di Jawa adalah sebagai garwa atau sigaraning nyawa. Yang berarti belahan jiwa atau isteri. Karena merupakan belahan jiwa maka harus dipilih secara hati-hati, ibarat memilih jimat yang cocok untuk dirinya. Jadi perlu dipertimbangkan dari berbagai segi dan cara penilaian tertentu. Seperti di atas tadi, bisa dilihat dari jenis kulit, jenis suara, juga dari bentuk tubuh sampai cara berjalan atau posisi tahi lalatnya. Kesannya memang diskriminatif. "Kok pihak laki-laki tidak dibuatkan katuranggan juga ?!".
Di belahan dunia mana pun, sejarah soal wanita hampir sama. Hanya wanita yang dibedah dan diurai-urai. Baik itu di Amerika, Inggris, Prancis atau negara maju lainnya. Masing-masing negara itu, juga pernah mengalami zaman primitif seperti negara kita. Soal emansipasi wanita ditempatkan pada posisi cadangan. Kalau ada ya dipakai kalau tidak ada ya tidak masalah. Sehingga, bila primbon hanya menerbitkan katuranggan wanita tanpa dilengkapi katuranggan pria, barangkali mewakili kebudayaan yang sedang berlangsung ketka primbon dituliskan, Abad 18.
Agaknya, sampai kapan pun, hanya kaum wanita yang dijabarkan daya pesonanya. Kecuali, jika sekarang ada yang berinisiatif menerbitkan primbon baru tentang karakter pria. Misalnya di beri judul Katuranggane Wong Lanag, barangkali, kita jadi bisa dianggap memberi porsi yang adil kepada kaum wanita. Sehingga mereka bisa punya kunci untuk membedah karakter kaum pria.
Sebetulnya, wanita harus merasa bangga. Sebab hanya mereka yang diakui memiliki daya pesona dalam berbagai misteri. Sehingga hanya wanita yang dibedah dan diurai-uraikan. Isi primbon memang seolah mengisyaratkan kepada kaum pria untuk mempersiapkan diri jadi kepala rumah tangga yang baik, bersekolah dengan baik dan bekerja setekun-tekunnya, agar bisa memilih dengan bebas wanita mana yang cocok untuk dirinya sesuai ajaran primbon. Karena kaum pria dipandang dari drajad, pangkat, dan bukan dari pesona dirinya. Kalau pria tidak memiliki kemampuan apa-apa, meski sudah mempelajari primbon sampai hapal di luar kepala, tentu pihak wanita akan selalu menolak.
"Wong lanang menang milih, wong wedok menang nolak". Pria punya hak memilih, wanita punya hak menolak. Begitulah menurut filosofi hidup yang berkembang di Jawa.
MAGIS MERAH
Mitos Merah Delima memang masih beredar luas. Isu yang dimulai dari mulut ke mulut lalu menjelma jadi legenda itu, bahkan sampai diadopsi jadi lakon kethoprak, seni teater tradisional Jawa. Mengisahkan seekor Naga membelit sebuah gunung berapi. Menjelang belitannya sempurna, tiba-tiba lidahnya dipotong seorang ksatria. Terlempar tiga butir batu mulia dari pangkal lidahnya. Ketiga batu itu, berterbangan ke berbagai penjuru dan tidak pernah dapat ditemukan sampai hari ini. Batu itu, dijuluki Merah Delima.
Kisah kethoprak ini juga sering dijadikan bahan acuan para pemburu harta karun. Mereka masih berusaha menemukan batu itu, sampai melibatkan paranormal segala. Mereka masih meyakini, Merah Delima adalah batu keramat. Disamping juga merasa bimbang, karena Merah Delima tidak pernah jelas perwujudannya. Hanya dongeng, dengan bumbu-bumbu cerita yang semakin hari semakin menjadi-jadi.
Warna Merah, memang warna yang dianggap memiliki magis. Hampir di setiap komunitas spritual, selalu melibatkan unsur warna merah. Termasuk di Cina, yang setiap kali melakukan upacara kebahagiaan, warna merah tidak pernah dilupakan. Dari dekorasi sampai kartu undangan semuanya berwarna merah. Bahkan warna merah, dijadikan warna dasar bendera resmi negeri tanpa tapal batas itu.
Di dunia kesehatan Barat, merah juga diyakini mengandung aura terapi untuk penderita insomnia, gangguan peredaran darah dan gangguan jiwa. Untuk gangguan jiwa akut, disamping merah juga dipakai warna ungu. Kalau anda sempat beranjangsana ke Rumah Sakit Jiwa setempat, Anda akan menyaksikan pasien kalap bakal diberi jaket seperti yang dipakai pesulap sohor David Copperfield, lalu dimasukkan ke ruang tertutup berdinding warna ungu. Pasien itu akan mengalami ketenangan jiwa secara bertahap.
MISTERI PURBA
Misteri soal warna memang masih misteri purba. Di Indonesia, sisa-sisanya masih bisa kita temui dalam kekayaan budaya suku Asmat di Irian Jaya. Mereka pemuja warna merah. Lembar uang seratus rupiah dianggap lebih bernilai dibanding lembar uang sepuluh ribu rupiah, misalnya. Karena uang seratus ribu rupiah mengandung unsur merah. Kumpulan jimat mereka juga dibalut kain merah atau dicat menggunakan warna merah.
Suku Asmat sampai hari ini dianggap primitif, meski mereka sesungguhnya sudah sejak lama mengenal cara berpakaian dan perdagangan jual-beli, tidak perdagangan barter lagi. Beberapa orang tertentu malah mengeksploitasi keprimitifan Asmat untuk komoditas perdagangan baru. Asmat dipamerkan, dipertontonkan ke berbagai belahan dunia. Seperti juga suku Indian Apache di Amerika, yang dijadikan komoditas pariwisata. Diagari seperti kamp pengungsi, dipertontonkan dengan mengutip tanda masuk. Namun, harkat dan martabat hidup mereka tidak pernah ditingkatkan.
Keprimitifan dijadikan sarana pemuas rasa ingin tahu orang-orang modern, tentang sejarah manusia di masa lampau. Mereka memandang dengan rasa geli, takjub, riskan atau menganggapnya tontonan belaka. Seperti animasi film kartun di layar televisi kita.
BELAHAN JIWA
Kitab Primbon yang merupakan lambang kebudayaan Jawa di masa lalu dan lahir melalui cara berpikir primitif-tradisional, membedah warna merah dari sudut pasuryan atau ekspresi wajah. Jenis ekspresi ini sama dengan ekspresi orang malu-malu kucing atau sedang merasa bangga tapi tidak ditunjukkan. Primbon menyebutnya pakulitane mbangbang awak. Atau jenis kulit yang kemerahan semu dadu.
Misteri warna memang bisa diurai dari berbagai sudut pandang. Warna merah versi primbon dapat dijadikan indikator jenis sifat tertentu seorang wanita. Dari daya seksualnya sapai peruntungannya. Analisis watak dilihat dari jenis kulit memang lebih difokuskan kepada wanita, maka dari itu disebut katuranggan wanita. Alasannya tidak diketahui secara pasti, yang jelas tidak ada kaitannya dengan diskriminasi soal gender.
Filosofi wanita yang berkembang di Jawa adalah sebagai garwa atau sigaraning nyawa. Yang berarti belahan jiwa atau isteri. Karena merupakan belahan jiwa maka harus dipilih secara hati-hati, ibarat memilih jimat yang cocok untuk dirinya. Jadi perlu dipertimbangkan dari berbagai segi dan cara penilaian tertentu. Seperti di atas tadi, bisa dilihat dari jenis kulit, jenis suara, juga dari bentuk tubuh sampai cara berjalan atau posisi tahi lalatnya. Kesannya memang diskriminatif. "Kok pihak laki-laki tidak dibuatkan katuranggan juga ?!".
Di belahan dunia mana pun, sejarah soal wanita hampir sama. Hanya wanita yang dibedah dan diurai-urai. Baik itu di Amerika, Inggris, Prancis atau negara maju lainnya. Masing-masing negara itu, juga pernah mengalami zaman primitif seperti negara kita. Soal emansipasi wanita ditempatkan pada posisi cadangan. Kalau ada ya dipakai kalau tidak ada ya tidak masalah. Sehingga, bila primbon hanya menerbitkan katuranggan wanita tanpa dilengkapi katuranggan pria, barangkali mewakili kebudayaan yang sedang berlangsung ketka primbon dituliskan, Abad 18.
Agaknya, sampai kapan pun, hanya kaum wanita yang dijabarkan daya pesonanya. Kecuali, jika sekarang ada yang berinisiatif menerbitkan primbon baru tentang karakter pria. Misalnya di beri judul Katuranggane Wong Lanag, barangkali, kita jadi bisa dianggap memberi porsi yang adil kepada kaum wanita. Sehingga mereka bisa punya kunci untuk membedah karakter kaum pria.
Sebetulnya, wanita harus merasa bangga. Sebab hanya mereka yang diakui memiliki daya pesona dalam berbagai misteri. Sehingga hanya wanita yang dibedah dan diurai-uraikan. Isi primbon memang seolah mengisyaratkan kepada kaum pria untuk mempersiapkan diri jadi kepala rumah tangga yang baik, bersekolah dengan baik dan bekerja setekun-tekunnya, agar bisa memilih dengan bebas wanita mana yang cocok untuk dirinya sesuai ajaran primbon. Karena kaum pria dipandang dari drajad, pangkat, dan bukan dari pesona dirinya. Kalau pria tidak memiliki kemampuan apa-apa, meski sudah mempelajari primbon sampai hapal di luar kepala, tentu pihak wanita akan selalu menolak.
"Wong lanang menang milih, wong wedok menang nolak". Pria punya hak memilih, wanita punya hak menolak. Begitulah menurut filosofi hidup yang berkembang di Jawa.