Senin, 29 November 2010

MANUSIA PRIMITIF DAN MAKHLUK HALUS

"leluhur kita pernah hidup dalam suatu kebiasaan primitif. Diantaranya melakukan suatu rangkaian upacara magis, mempercayai mitos-mitos tentang keperkasaan leluhur terdahulu atau kesaktian para pendiri sebuah desa, tempat dimana mereka tinggal kala itu".

WUJUD mitologi itu, sekarang masih dapat dijumpai dalam bentuk petilasan keramat atau pundhen pada sebuah desa tertentu. Disamping penghormatan kepada arwah leluhur, mereka juga mempercayai adanya makhluk halus yang memiliki daya kekuatan sehingga dapat dijadikan tempat berkeluh-kesah.

Menurut ilmu pengetahuan, tradisi budaya semacam itu disebut animisme atau budaya animis, kepercayaan terhadap roh-roh. Animisme berasal dari bahasa Latin Anima, artinya nyawa. Budaya ini mengakui adanya kepribadian tertentu dalam bentuk simbol daya kekuatan tertentu. Misal, seekor macan yang selama ini dimitoskan sebagai penguasa hutan belantara, jika sudah mati, maka kulit, taring, kuku bahkan kumisnya, diyakini masih mengandung aura keperkasaan. Karena itu dianggap perlu untuk disimpan, diawetkan dan dimantrai dan dijadikan simbol keperkasaan bagi pemiliknya. Simbol ini diyakini memiliki sebentuk kepribadian. Dalam arti mengandung kekuasaan tertentu bila dipuja dan dirawat sedemikian rupa. Dipercaya, bakal memberi tuah sakti bagi pemiliknya.

Fenomena di atas, sesungguhnya berangkat dari rasa rendah diri manusia itu sendiri terhadap binatang, yang dalam hal tertentu memang memiliki kelincahan bergerak, daya tahan fisik dan kekuatan ajaib yang mustahil dilakukan manusia. Ini terlihat dari tiap pertarungan yang dilakukannya. Contohnya, dalam pandangan awam, pertarungan antara Gajah dengan Macan adalah bentuk pertarungan fantastis dan sulit disamai. Pada saat binatang itu sudah mati, maka anggota tubuhnya buru-buru diambil lalu disakralkan.

Demikian pula dengan makhluk halus yang menguasai tempat tertentu, yang sering dijuluki sebagai siluman. Dalam perilaku kesehariannya, manusia primitif berusaha melakukan hubungan dengan daya kekuasaan tersebut. Mereka menjalin hubungan mistis, semata-mata demi terciptanya keselarasan dengan makhluk tanpa bentuk itu.

TUMPENG DAN TOTEM
Sebetulnya, apa yang mereka lakukan, semata-mata lebih didasarkan pada pengertian sugestif. Mereka tersugesti oleh suatu bentuk khayalan yang diciptakan sedemikian banyak pula simbol keselarasan. Simbol itu, biasanya diwujudkan dalam bentuk sesaji seperti tumpeng dan buah-buahan atau patung pemujaan yang disebut totem.
Pemahaman mereka tentang bermacam jenis makhluk halus itu disebut polytheisme, menuhankan banyak benda dan roh. Berbeda dengan monotheisme, mengakui adanya satu Tuhan. Pengertian terakhir ini berkembang jadi agama resmi di Indonesia.

Pengertian semacam di atas, tidak hanya terjadi di Jawa, tapi hampir di seluruh pelosok tanah air. Juga di belahan dunia lain seperti Jerman, Afrika atau Australia. Bahkan Amerika. Kalangan Suku Dayak di Kalimantan, juga menciptakan banyak patung persembahan. Bentuknya beraneka ragam. Patung itu dari masa ke masa tetap sama. Sampai akhirnya, datang VOC Belanda ke pedalaman mereka.

Karena ada sesembahan baru, maka mereka merasa perlu menciptakan patung baru dan dijuluki Prenggiwangsa. Mereka menyebutnya patung orang Frank. Rupanya mitologi warisan primitif bisa berubah juga, disesuaikan tuntutan zaman. Rasa takut kepada VOC, memunculkan patung baru pula. Barangkali, orang Belanda dianggap sejenis makhluk halus juga oleh mereka.

PERSEKUTUAN DAN PERSOGOKAN
Upacara-upacara magis untuk menjalin keselarasan dengan siluman, biasanya dilakukan secara bersama-sama. Karena dilakukan bersama. Malah dianggap perlu untuk ditiru dan dilestarikan secara turun temurun. Anggapan mereka, ritual magis yang dilakukan bersama-sama adalah ritual magis putih. Berbeda dengan ritual magis yang dilakukan perseorangan secara diam-diam, dianggap magis hitam. banyak sekali larangan pada masa primitif itu terhadap seseorang yang melakukan upacara magis sendirian.

Pada prinsipnya semua yang dilakukan leluhur dari bangsa mana pun dan di negara mana pun di dunia ini, dimaksudkan sebagai suatu bentuk usaha untuk menjaga keselarasan alam. Mereka berupaya membebaskan diri dari rasa takut terhadap badai, kekeringan, panen yang gagal atau keselamatan di perjalanan dan sejenisnya, yang diyakini dikuasai oleh komunitas makhluk halus. Sehingga perlu dilakukan persekutuan dan persogokan agar keselarasan tetap terjaga.

Mereka beranggapan, komunitas makhluk halus yang berkuasa tidak bakal marah dan tidak  akan meluluh-lantahkan masyarakat manusia, jika sudah dilakukan upacara magis lewat ritual semacam di atas tersebut. Mereka meyakini, makhluk halus bisa mengirim wabah penyakit, kelaparan atau bencana alam. Manusia primitif berusaha keras menjaga keselarasan tersebut. Di Bali disimbolisasikan sebagai suatu bentuk hukum kosok-bali, ada gunung pasti ada laut.

DEWA UANG DAN GAMELAN
Berbagai upacara magis dalam budaya animis yang dianut leluhur kita dilakukan pula dengan beberapa cara yang kurang lazim. Seperti misalnya komunitas Aborigin di Australia yang senang menyebar-nyebarkan keping uang yang dimiliki kelompoknya kepada kelompok lain, dalam suatu upacara yang mempertemukan mereka di sebuah padang prairi.

Penghamburan keping uang ini tidak didasarkan kepada asas kesetiakawanan sosial salah satu kelompok kepada kelompok lain, tetapi merupakan upaya pengerukan kekayaan kelompok lain itu, menggunakan sarana keping uang untuk memancing keping uang baru. Dalam jumlah, yang tentu saja lebih besar lagi.

Cara berpikir primitif memang masih mengendap di benak mereka, namun karena di zaman modern keping uang dianggap sebagai sebentuk pribadi yang berkuasa, maka dewa mereka pun berubah wujud dan berganti simbol, jadi dewa uang. Simbol ekonomis. Mitologi kapitalis.

Tidak akan ada ujungnya jika kita bercerita tentang kebiasaan masing-masing kelompok pada sebuah negara tertentu berkaitan kepercayaan mistis mereka. Masing-masing, memiliki keunikan dalam memproyeksikan dirinya terhadap pengertian tentang keselarasan, keseimbangan, harmoni atau metode irama hidup. 

Di Jawa, keselarasan seperti ini sangat dibutuhkan. Sampai-sampai dalam seni karawitan pun perlu diciptakan dua macam irama gamelan, slendro dan pelog. Meski nadanya berlawanan, namun keduanya tetap dapat dimainkan bersama. Sehingga menciptakan harmoni alunan gendhing Jawa.




Kembali                    Selanjutnya